New

Kamis, 26 Januari 2012

PPh Pasal 26

PENDAHULUAN

Atas panghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia, Selain penghasilan usaha yang diperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong PPh pasal 26. Pengenaan PPH menurut UU pajak penghasilan Indonesia menganut dua system :

1.      Pemenuhan sendiri kewajiban perpajakan bagi wajib pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dan
2.      Pemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya.


            Dasar hokum pemotongannya bersumber pada pasal 26 Undang- undang Pajak Penghasilan ; PP Nomor 51 Tahun 1994
·         Tanggal 29 Desember 1994; KMK Nomor 602/ KMK.04/1994
·         Tanggal 21 Desember 1994; KMK Nomor 624/ KMK.04/1994
·         Tanggal 27 Desember 1994; KMK Nomor 649/ KMK.04/1994
·         Tanggal 29 Desember 1994; KMK Nomor 634/ KMK.04/1994
·         Tanggal 29 Desember 1994, keputusan Direktur Jenderal
·         Pajak Nomor 173/Pj/2002 Tanggal 3 April 2002






PENGERTIAN

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/ dipotong atas penghasilan yang bersumberdari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak(WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) diIndonesia.

TARIF, OBJEK, DAN SIFAT PENGENAANNYA PPH PASAL 26

1. 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yangditerima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri berupa:
a.dividen;
b.bunga, premium, diskonto, premi swap,dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.
e. hadiah dan penghargaan
f. berkala pensiun dan pembayaran lainnya
g. Premi swap dan transaksi llindung nilai lainnya; dan atau
h. Keuntungan karna pembebasan utang.

2. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa :
a. penghasilan dari penjualan harta di Indonesia;
b. premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang kepada perusahaan luar negeri.
3. 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.

4. Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara pihak pada persetujuan.
Contoh 1 :
Suatu badan subjek Pajak Dalam Negeri Membayarkan rotalti sebesar Rp 100.000.000,00 kepada wajib pajak luar negeri, maka subjek pajak dalam negeri tersebut berkawajiban untuk memotong pajak penghasilan sebesar:
            20% x Rp 100.000.000,00 = Rp 20.000.000,00.
Contoh 2 :
Seorang atlet dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan lari marathon di Indonesia, dan kemudian merebut hadiah uang sebesar Rp 10.000.000,00, maka atas hadiah tersebut dikanakan pemotongan pajak penghasilan sebasar :
            20% x Rp 10.000.000,00 = Rp 2.000.000,00.
Contoh 3 :
Pegawai dengan status  Wajib Pajak Luar Negeri  adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 ( seratus delapan puluh tiga ) hari dalam jangka waktu 12 ( dua belas)  bulan yangmenerima atau memperoleh gaji, honorarium dan atau imbalan lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan.
Sebagai contoh sahota adalah pegawai asing yang berada di indonesia kurang dari 183 hari, status kawin dan mempunyai dua orang anak .ia meperoleh gaji pada bulan maret 2003 sebesar US$2. 500 sebulan.
Kurs yang berlaku adalah Rp 8.500,00 Per US$1,00
Perhitungan PPh pasal 26 :
Penghasilan bruto berupa gaji sebulan :
2.500 x Rp 8.500,00  = Rp 21.250.000,00
Penerapan tariff :
20% x Rp 21.250.000,00 = Rp 4.250.000,00
PPh pasal 26 atas gaji  US$2.500 = Rp 4.250.000,00

            Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari bentuk Usaha Tetap di Indonesia di potong pajak sebesar  20% ( dua puluh persen).  

TARIF PPh PASAL 26
UNTUK P3B YANG BERLAKU EFEKTIF

NO.
COUNTRY
INTEREST
ROYALTIES
DIVIDEN
BRANCH
PROFIT TAX
PORTFOLIO
SUBSTANTIAL
HOLDING
1
Algeria
15%
15%
15%
15%
10%
2
Australia
10%
10%/15%
15%
15%
15%
3
Austria
10%
10%
15%
10%
12%
4
Bangladesh
10%
10%
15%
10%
10%
5
Belgium
10%
10%
15%
10%
10%
6
Brunei Darussalam
10%
15%
15%
15%
10%
7
Bulgaria
10%
10%
15%
15%
15%
8
Canada
10%
10%
15%
10%
15%
9
Czech
12,5%
12,5%
15%
10%
12,5%
10
China
10%
10%
10%
10%
10%
11
Denmark
10%
15%
20%
10%
15%
12
Egypt
15%
15%
15%
15%
15%
13
Finland
10%
10%/15%
15%
10%
15%
14
France
15%
10%
15%
10%
10%
15
Germany
10%
10%/15%
15%
10%
10%
16
Hungary
15%
15%
15%
15%
N/A
17
India
10%
15%
15%
10%
10%
18
Italy
10%
10%/15%
15%
10%
12%
19
Japan
10%
10%
15%
10%
10%
20
Jordan
10%
10%
10%
10%
N/A
21
Korea, Republic of
10%
15%
15%
10%
10%
22
Korea, Democratic People's Republic of
10%
10%
10%
10%
10%
23
Kuwait
5%
20%
10%
10%
10%
24
Luxembourg
10%
12,5%
15%
10%
10%
25
Malaysia
15%
15%
15%
15%
12,5%
26
Mexico
10%
10%
10%
10%
10%
27
Mongolia
10%
10%
10%
10%
10%
28
Netherlands
10%
10%
10%
10%
10%
29
New Zealand
10%
15%
15%
15%
N/A
30
Norway
10%
10%/15%
15%
15%
15%
31
Pakistan
15%
15%
15%
10%
10%
32
Philippines
15%
15%/25%
20%
15%
20%
33
Poland
10%
15%
15%
10%
10%
34
Portuguese
10%
10%
10%
10%
10%
35
Qatar
10%
5%
10%
10%
10%
36
Romania
12,5%
12,5%/15%
15%
12,5%
12,5%
37
Russia
15%
15%
15%
15%
12,5%
38
Saudi Arabia *
N/A
N/A
N/A
N/A
N/A
39
Seychelles
10%
10%
10%
10%
N/A
40
Singapore
10%
15%
15%
10%
15%
41
Slovak
10%
10%/15%
10%
10%
10%
42
South Africa
10%
10%
15%
10%
10%
43
Spain
10%
10%
15%
10%
10%
44
SriLanka
15%
15%
15%
15%
SesuaiUU Domestik
45
Sudan
15%
10%
10%
10%
10%
46
Sweden
10%
10%/15%
15%
10%
15%
47
Switzerland
10%
12,5%
15%
10%
10%
48
Syria
10%
15%/20%
10%
10%
10%
49
Taipei /Taiwan
10%
10%
10%
10%
5%
50
Thailand
RI =15%
THAI =10%/25% **
15%
20%
15%
SesuaiUU Domestik
51
Tunisia
12%
15%
12%
12%
12%
52
Turkey
10%
10%
15%
10%
15%
53
UAE (United Arab Emirates)
5%
5%
10%
10%
5%
54
Ukraine
10%
10%
15%
10%
10%
55
United Kingdom
10%
10%/15%
15%
10%
10%
56
United States of America
10%
10%
15%
10%
10%
57
Uzbekistan
10%
10%
10%
10%
10%
58
Venezuela
10%
20%
15%
10%
10%
59
Vietnam
15%
15%
15%
15%
10%
Keterangan :
*
P3B antara Indonesia dengan Saudi Arabia hanya mengatur mengenai transportasi penerbangan dalam jalur internasional.
**
Berdasarkan ketentuan pasal 11 ayat 2 P3BRI-Thailand, terdapat pembedaan tarif atas bunga.
N/A
P3B tersebut tidak mengatur mengenai Tarif PPhPasal 26.


SAAT TERUTANG, CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN SPT MASA PPH PASAL 26

1. PPh pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan, tergantung yang mana terjadi lebih dahulu.

2. Pemotong PPh pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26 rangkap 3 :
- lembar pertama untuk Wajib Pajak luar negeri;
- lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak;
- lembar ketiga untuk arsip Pemotong.

3. PPh pasal 26 wajib disetorkan ke bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.

4. SPT Masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar kedua, bukti pemotongan lembar kedua dan daftar bukti pemotongan disampaikan ke KPP setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Contoh :

Pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan tanggal 24 Mei 2001, penyetoran paling lambat tanggal 10 Juni 2001; dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 Juni 2001.
Pengecualian

1. BUT dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 apabila Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT ditanamkan kembali di Indonesia dengan syarat:
a. dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, dan;
b. dilakukan dalam tahun berjalan atau selambatlambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperoleh penghasilan tersebut;
c. tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurang-kurangnya dalam waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan, mulai berproduksi komersil.

2. Badan-badan Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah penerapan dari azas sumber yang dianut dalam ketentuan Pajak Penghasilan di Indonesia. Ya, berdasarkan azas sumber, penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang dinikmati oleh orang atau badan di luar Indonesia, bisa dikenakan pajak di Indonesia. Bentuk pemajakannya adalah dengan sistem witholding tax yang bersifat final yang diatur dalam Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.
Dalam ketentuan Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, terdapat empat jenis PPh Pasal 26 yaitu PPh Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 26 ayat (2a) dan Pasal 26 ayat (4). Masing-masing jenis PPh Pasal 26 ini memiliki ruang lingkupnya sendiri.
PPh Pasal 26 ayat (1) adalah PPh Pasal 26 pada umumnya yaitu pemotongan PPh terhadap Wajib Pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. Bentuk penghasilan yang dipotong pada umumnya sama dengan objek pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23. Bedanya, penerima penghasilan PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak luar negeri. Tulisan ini dibuat untuk menjelaskan PPh Pasal 26 ayat (1)
Istilah PPh Pasal 26 dalam tulisan ini dimaksudkan sebenarnya pada ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu jenis PPh Pasal 26 yang pertama selain yang sudah saya tuliskan dalam tautan di atas.
Pemotong PPh Pasal 26
Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-undang Pajak Penghasilan 1984), pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 ayat (1)  adalah :
a.    Badan Pemerintah
Tidak ada penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti Badan Pemerintah ini. Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa yang dimaksud dengan Badan Pemerintah adalah Pemerintah negara Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi di bawahnya.
b.    Subjek Pajak Badan dalam negeri
Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, subjek pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Istlah didirikan mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu istilah bertempat kedudukan menunjukkan bahwa badan tersebut memiliki efektif manajemen di Indonesia di mana pengambilan keputusan-keputusan penting tentang badan tersebut dilakukan di Indonesia.
Pengertian badan sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 adalah  sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap
c.    Penyelenggara kegiatan
Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang melakukan suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti pertunjukkan, perlombaan, seminar dan lain-lain.
d.    Bentuk Usaha Tetap (BUT)
BUT adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di Indonesia sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak dan kewajiban BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri.
Pengertian BUT bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel dan lain-lain.

e.    Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya
Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga merupakan pemotong PPh Pasal 23. Contohnya adalah Representative Office (RO) dari perusahaan-perusahaan asing.

PIHAK YANG DIPOTONG PPH PASAL 26
Beda dengan pemotongan jenis pajak lain, pemotongan PPh Pasal 26 dikenakan terhadap Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap.
Pengertian Wajib Pajak luar negeri bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Pada ketentuan ini Subjek Pajak (juga Wajib Pajak) luar negeri selain BUT adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Jadi, Wajib Pajak luar negeri seperti ini mendapatkan penghasilan dari Indonesia tanpa perlu melakukan kegiatan usaha di Indonesia melalui BUT. Misalnya warga negara Singapura yang memiliki saham PT Indosat yang menerima penghasilan berupa dividen dari PT Indosat.
Di sisi lain, pengenaan Pajak Penghasilan terhadap Wajib Pajak BUT adalah hampir sama dengan Wajib Pajak dalam negeri melalui sistem self assesment pelaporan SPT Tahunan.


KEETENTUAN PASAL 26 SESUAI UNADANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN TAHUN 2008

Ketentuan dalam pasal 26 Undang-Undang pajak penghasilan 2008 yang berlaku sejak tanggal 1 januari 2009 bahwa atas penghasilan yang di terima atau diperoleh wajib pajak luar negeri dari Indonesia sebagai Objek pajak pemotongan PPh pasal 26.
Ketentuan ini menganut tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau di peroleh wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.
 Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan dapat digolongkan dalam:
  1. dividen;
  2. bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
  3. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan hartai;
  4. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
  5. hadiah dan penghargaan;
  6. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
  7. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
  8. keuntungan karena pembebasan utang
Perhatikan bahwa objek PPh Pasal 26 ayat (1) ini adalah mirip dengan objek pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23. Yang membedakannya dengan PPh Pasal 26 adalah bahwa penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak luar negeri, sedangkan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri.


SAAT TERUTANGNYA

            Saat terutangnya pajak penghasilan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada pasal 26 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Pajak penghasilan yaitu terutang pada bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu. PPh Pasal 26 tersebut harus dibayar lunas paling lambat tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah tahun tahun pajak atau bagian tahun pajak berakhir sebelum SPT tahunan disampaikan, kecuali wajib pajak tersebut mendapatkan kemudahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan tersebut mengacu pasal 26 Ayat (4) mengenai BUT.

PENYOTORAN DAN PELAPORAN PAJAK

1.      Pemotongan Pajak Penghasilan Pajak 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau terutangnya penghasilan yang bersangkutan, atas penghasilan berupa:
a.       Penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk dividen , bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan penggunaan harta; imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan,atau kegiatan ; hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
b.      Penghasilan dari Penjualan harta di Indonesia.
c.       Premi aruransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi Luar Negeri;
2.      Pajak Penghasilan pasal 26 yang telah dipotong harus disetorkan selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.
3.      Pemoyongan Pajak PPh Pasal 26 diwajibkan menyampaikan surat pemberitahuan masa selambat-lambatnya 20 hari setelah masa pajak berakhir.
4.      Pemotong Pajak PPh Pasal 26 harus memberikan tanda bukti pemotongan PPh pasal 26 kepada orang pribadi atau badan yang dibebani membayar pajak penghasilan yang dipotong.
5.      Pemotongan PPh pasal 26 atas penghasilan berupa penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, terutang yang harus di bayar lunas selambat-lambatnya tanggal 25 bulan ketiga setelah tahun pajak ataubagian tahun pajak berakhir , sebelum surat pemberitahuan tahunan disampaikan.

PREMI ASURANSI DAN PREMI REASURANSI YANG DIBAYARKAN KEPADA PERUSAHAAN ASURANSI LUAR NEGERI

Pembayaran premi asuransi dan premireasuransi kepada perusahaan asuransi luar negeri dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto tersebut adalah:
1.      Atas premi yang dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebasar 50% dari premi yang dibayar;
2.      Atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan ansuransi luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang sebesar 10% dari jmlah premi yang dibayar;
3.      Atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialag, sebesar 5% dari jumlahyang di bayar.



Contoh :
1.      Perusahaan menyawakan gedung kantor, PT Ananda , Mengansumsikan baguna bertingkat langsung ke perusahaan asuransi di luar negeri dengan membayar jumlah premi selama tahun 2002 sebesar Rp 1 miliar. Besarnya perkiraan penghsilan neto perusaah asuransi luar negeri adalah 50% x Rp 1 miliar = Rp 500.000.000,00. Besar PPh Pasal 26 yang harus di potong oleh PT Amanda selama tahun 2002 adalah 2% x Rp 500.000.000,00 = Rp 100.000.000,00. (10% x Rp 1 miliar).
2.      Jika PT Amanda mengansuransikan kepada perusahaan asuransi dalam negeri, PT Bagaswara, dengan membayar jumlah premi yang sama sebesar RP 1 miliar, dan kemudian PT bagaswara mereasuransikan bagia polis asuransi tersebut kepada pmaka besar perkiraan penghasila neto perusahaan asuransi di luar negeri adalah 10% x Rp 500.000.000,00 = 50.000.000,00 dan PPh pasal 26 yang wajib di potong oleh PT Bangsawan adalah 20% x Rp 50.000.000,00 = Rp 10.000.000,00 (2% x Rp 500.000.000,00).
Pembayaran Premi asuransi atau premi reasuransi dapat dilakukan oleh pembayar premi di Indonesia secara langsung kepada perusahaan asuransi di luar negeri atau melalui pialag. Pihak pembayar premi atau pemotong pajak di Indonesia wajib pajak melakukan pemotongan pajak di Indonesia wajib melakukan pemotongan pajak penghasilan pasal 26 atas premi asuransi atau perusahaan reasuransi yang di bayarkan kapada  perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi di luar negeri.
Pemotongan pajak penghasilan pasal 26 tersebut dilakukan oleh:
1.      Tertanggung;
2.      Perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia;
3.      Perusahaan reasuransi yang berkeduduka di Indonesia.



PEDOMAN STANDAR GAJI KARYAWAN ASING
Masalah pedoman standar gaji karyawan asing telah dalam surat edaran nomor SE 25/Pj.43/1993 Tanggal 7 oktober 1993 di anggap tidak sesuai lagi dengan kondisi nyata dari gaji yang diterima oleh karyawan asing, maka di pandang perlu menyempurnakan pedoman di maksud
            Pedoman standar gaji karyawan asing yang baru telah di keluarkan dengan kepuyusan Jenderal Pajak Nomor 173/Pj/2002 Tanggal 3 April 2002 Yang di berlakukan mulai tanggal 1 januari 2002 dan mulai digunakan pada tahun pajak 2002. Beberapa pokok peraturan terseput meliputi :
1.      Pedoman standar gaji karyawan asing di gunakan dalam hal:
a.       Terdapat petunjuk bahwa pembukuan wajib pajak tidak benar sehingga tidak dapat dihitung besar pajak yang harusnya terhutang.
b.      Diperoleh bukti yang menunjukkan bahwa terdapat pembayaran gaji karyawan asing yang tidak seluruhnya dibutuhkan untuk pelunasan PPh pasal 21 atau Pasal 26.
c.       Pemeriksaan tidak mendapatkan data yang dapat digunakan untuk menentukan jumlah gaji karyawan asing dalam rangka penetapan jumlah PPh pasal 21 dan Pasal 26 yang terutang.
2.      Penggunaan pedoman standar gaji karyawan asing harus memerhatikan :
a.       Kebangsaan karyawan asing yang bersangkutan ;
b.      Jenis usaha dari perusahaan tempat karyawan asing dalam perusahaan tempat perusahaan tempat yang bersangkutan bekerja.